Senin, 11 April 2011

Laporan Observasi Asesmen ABK

LAPORAN OBSERVASI
ASESMEN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah asesmen anak berkebutuhan khusus
Dosen pengampu:
Dr. Haryanto

UNY

Disusun oleh:
Retno Dwi Pawestri
PLB A_2009
09103241025

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pelaksanaan pendidikan di beberapa sekolah khususnya sekolah luar biasa belum dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan anak, masalah, dan kemampuan anak. Guru cenderung hanya mengejar keterlaksanaan apa yang ditargetkan dalam kurikulum semata. Padahal, cirri khas dalam penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah selalu berorientasi pada kebutuhan anak. Layanan pendidikan lebih ditekankan kepada layanan individual. Hal ini dikarenakan kebutuhan dan kemampuan setiap anak berbeda- beda. Layanan pendidikan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, masalah, dan kemampuan anak.
Dalam upaya memahami masalah dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, seorang guru  membutuhkan data yang akurat berkenaan dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi setiap anak didiknya. Untuk dapat menggali data dan informasi tentang kebutuhan dari masalah yang dihadapi anak, guru dapat melakukannya melalui kegiatan yang disebut asesmen. Asesmen dapat dipandang sebagai suatu upaya pengumpulan informasi yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan anak. Untuk itu, asesmen sangat penting untuk dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran bagi anak.

B.     Rumusan masalah
·         Bagaimana cara pelaksanaan asesmen untuk anak berkebutuhan khusus?

C.     Tujuan
·         Untuk mengetahui dan memahami cara pelaksanaan asesmen anak berkebutuhan khusus.

D.    Pelaksanaan Observasi
Tempat            : SLB Bina Siwi
Alamat                        : Sendangsari  Pajangan Bantul Yogyakarta
Hari/ tanggal   : Sabtu/ 25 Desember 2010
Waktu             : Pukul 08.00 s/d 11.00 WIB

E.     Metode
1.      Observasi
Dengan melakukan pengamatan- pengamatan terhadap anak saat  proses pembelajaran di sekolah dan juga contoh- contoh hasil pekerjaan anak.
2.      Wawancara
Dengan mewawancarai guru yang mengajar anak di kelas.
3.      Angket
Instrumen angket untuk diisi oleh guru dengan memberikan daftar check list pada pertanyaan- pertanyaan yang ada.









BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Asesmen
Istilah asesmen berasal dari bahasa Inggris yaitu assessment yang berarti penilaian suatu keadaan. Jadi, asesmen anak berkebutuhan khusus adalah penilaian kemampuan anak berkebutuhan khusus. Menurut Mulliken & Buckely, 1983 ( dalam Moh. Amin, 1995) asesmen merupakan usaha untuk menghimpun informasi yang relevan guna memahami atau menentukan keadaan individu. Dalam bidang pendidikan, asesmen merupakan berbagai proses yang rumit untuk lebih melengkapi hasil tes. Sedangkan (Endang Rochayadi, 2005) menyatakan bahwa asesmen adalah proses sistematis dalam mengumpulkan data seorang anak. Dalam konteks pendidikan, asesmen  berfungsi untuk  melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi anak saat itu sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Dari beberapa pengertian asesmen di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen adalah proses sistematis dalam menghimpun informasi yang relevan guna memahami keadaan individu atau melihat kemampuan serta kesulitan yang dihadapi anak sebagai bahan untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak.

B.     Langkah- langkah Asesmen
Dalam  penyusunan asesmen ini ada beberapa tahapan yang meliputi kegiatan identifikasi, tujuan asesmen, pengembangan alat asesmen, pelaksanaan, dan penafsiran hasil asesmen.
1.      Identifikasi
Identifikasi di sini adalah menentukan anak berkebutuhan khusus yang akan diasesmen. Identifikasi dapat dilakukan melalui pengamatan/ observasi yang cermat mengenai perilaku anak saat bel;ajar dan menganalisis hasil kerja anak. Identifikasi harus menghasilkan siapa yang akan diasesmen dan dalam aspek apa asesmen itu perlu dilakukan.
2.      Menetapkan tujuan
Setelah hasil identifikasi diketahui, selanjutnya ditetapkan tujuan asesmen yang akan dilakukan. Tujuan asesmen setiap murid akan sama atau berbeda tergantung pada gejala yang ditemukan pada waktu identifikasi.
3.      Mengembangkan Alat Asesmen
Untuk melakukan asesmen guru dapat menggunakan alat asesmen yang sudah baku (asesmen formal) atau alat asesmen buatan sendiri (asesmen informal).
Dalam asesmen informal, guru harus mengembangkan alat asesmen sendiri. Alat asesmen ini disesuaikan dengan kurikulum.
4.      Pelaksanaan asesmen
Guru melakukan asesmen sesuai dengan aspek yang akan diasesmen dalam waktu dan di tempat tertentu. Waktu yang digunakan dalam melakukan asesmen disesuaikan dengan alat yang dikembangkan serta disesuaikan dengan kemampuan anak dalam memusatkan perhatian sesuai usianya. Misalnya usia kelas satu SD, lama tes sebaiknya tidak lebih dari 30 menit (Widati S,2003: 5). Tes yang diberikan lebih dari 30 menit tidak akan memberikan informasi yang akurat tentang kemampuan anak karena perhatian anak sudah terpecah.
Dalam pelaksanaan asesmen penting pula untuk diperhatukan dalam menciptakan ruangan atau tempat asesmen yang kondusif. Tempat asesmen harus terhindar dari hal- hal yang dpat mengganggu perhatian anak sehingga tempat asesmen itu menjadi nyaman dan menimbulkan rasa nyaman bagi anak.
5.      Penafsiran
Setelah melaksanakan asesmen, tahap selanjutnya adalah guru mengolah hasil asesmen dan menafsirkannya. Dalam kegiatan inilah akhirnya guru mengambil keputusan untuk menentukan pembelajaran yang tepat untuk anak berkebutuhan khusus. Kegiatan penafsiran ini cukup menetukan, jika penafsiran keliru, maka program pembelajaran yang dikembangkan akan keliru pula.
Hasil asesmen ini harus dikaitkan pula dengan kurikulum. Lihatlah materi pelajaran yang sesuai dengan jenjang kelas dimana anak berada. Apabila pada kurikulum itu tidak ditemukan materi yang sesuai dengan hasil asesmen maka harus dicari pada jenjang di bawahnya, jika masih belum ditemukan juga cari kembali pada jenjang di bawahnya lagi, demikian seterusnya, hingga ditemukan materi yang sejalan dengan hasil asesmen.





BAB III
PEMBAHASAN

A.    Identitas/ Informasi Anak
1.      Nama                 : Ruwanti
Jenis kelamin      : Perempuan
TTL                    : Bantul, 29 November 1998
Agama               : Islam
Pendidikan         : kelas III SD
Jenis kelainan     : Tunagrahita
Anak urutan ke  : 4 dari 4 bersaudara
Orang tua
Nama Ayah        : Mardi Jiman
Usia                    : 72 tahun
Agama               : Islam
Pendidikan         : -
Pekerjaan           : Buruh tani
Alamat               : Beji wetan, sendangsari, pajangan, bantul
Nama Ibu           : Sumiyah
Usia                    : 62 tahun
Agama               : Islam
Pendidikan         : -
Pekerjaan           : Buruh tani
Alamat               : Beji wetan, sendangsari, pajangan, bantul



2.      Nama                 : Waldi Jumiyanto
Jenis kelamin      : Laki- laki
TTL                    : Bantul, 10 Oktober 2002
Agama               : Islam
Pendidikan         : kelas III SD
Jenis kelainan     : Tunarungu
Anak urutan ke  : 2 dari 2 bersaudara
Orang tua
Nama Ayah        : Walijan
Usia                    : 37 Tahun
Agama               : Islam
Pendidikan         : SD
Pekerjaan           : Buruh tani
Alamat               : Beji wetan, sendangsari, pajangan, bantul
Nama Ibu           : Nasibatun
Usia                    : 37 tahun
Agama               : Islam
Pendidikan         : SD
Pekerjaan           : Buruh tani
Alamat               : Beji wetan, sendangsari, pajangan, bantul


B.     Gejala Yang Nampak
1.      Ruwanti (Anak  Tunagrahita)
Ciri- ciri fisik yang ada pada anak adalah wajahnya seperti anak mongoloid/ kembar sedunia, bentuk kepala dan badannya pun tidak seimbang(kepala besar). Perkembangan sosial emosionalnya masih kurang stabil. Ia mudah marah apabila diganggu oleh temannya. Ia akan segera mencubit atau memukul jika ada temannya yang menjailinya. Di sekolah, anak ini agak pemalu. Terutama jika bertemu dengan orang asing/ orang yang baru dikenalnya. Ia akan menundukkan kepalanya saat diajak berbicara oleh orang asing. Dalam kesehariannya, ia berbicara dengan         Bahasa Jawa. Proses pembelajarannya pun menggunakan Bahasa Jawa karena anak ini tidak dapat memahami apa yang diajarkan apabila menggunakan Bahasa Indonesia. Apabila diajak bercakap- cakap, ia hanya akan menjawab seperlunya saja, sebatas satu atau dua kata. Pengucapannya pun tidak terlalu jelas. Mata pelajaran yang paling ia sukai adalah menggambar dan mewarnai. Ia masih kesulitan untuk menulis macam- macam bentuk huruf, mengenal tanda baca, dan masih sangat kurang dapat mengenal lambang bilangan.

2.      Waldi Jumiyanto (Anak Tunarungu)
Tingkat ketulian anak ini sampai sekarang belum diketahui karena ia belum pernah di periksakan. Hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian keluarganya yang kekurangan. Dalam kesehariannya di sekolah, ia masih sulit untuk diajak berkomunikasi. Dalam menggunakan bahasa isyarat saja anak ini belum terlalu lancar. Dibutuhkan waktu lama bagi anak ini untuk mengerti maksud ucapan dari orang yang mengajaknya berbicara. Saat diajak berkomunikasi, ia masih sangat sulit untuk menangkap isi pembicaraan dan ia masih belum lancar dalam mengemukakan keinginannya/ idenya. Sedangkan dalam berbicara, artikulasi anak ini masih belum jelas dan pengucapan kata- katanya pun belum lancar. Perkembangan sosial emosional anak ini masih kurang stabil. Ia termasuk anak yang hiperaktif.  Di kelas, ia sangat suka menjaili teman- temannya. Tingkahnya terkadang membuat teman dan gurunya kewalahan. Mata pelajaran yang sulit diikuti Waldi adalah Bahasa Indonesia dan matematika dalam hal pengukuran. Untuk Bahasa Indonesia, ia masih kurang lancar dalam menulis. Tulisannya pun tidak terlalu bagus. Ia juga merasa kesulitan dalam memahami makna dari sebuah kalimat ataupun bacaan

BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Asesmen adalah proses sistematis dalam menghimpun informasi yang relevan guna memahami keadaan individu atau melihat kemampuan serta kesulitan yang dihadapi anak sebagai bahan untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak.
2.      Langkah- langkah asesmen anak berkebutuhan khusus:
·           Identifikasi
·           Menetapkan tujuan asesmen
·           Mengembangkan alat asesmen
·           Pelaksanaan asesmen
·           Penafsiran

B.     Saran
1.      Pelaksanaan asesmen hendaknya memfokuskan kepada informasi yang relevan, sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga
2.      Pelaksanaan asesmen hendaknya menggunakan kolaborasi antara tim ahli dengan orang tua sehingga hambatan- hambatan yang dialami anak dapat diketahui dan dipahami dengan jelas.






DAFTAR PUSTAKA

Endang Rochyadi. 2005. Pengembangan Program Pelaksanaan Individual Bagi Anak Tunagrahita. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Moh. Amin. 1995. Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.










Artikel Psikiatri Anak


GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA ANAK TUNAGRAHITA
Retno Dwi Pawestri
09103241025
Pendidikan Luar Biasa_09
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

ABSTRAK
Bahasa merupakan sarana untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari- hari di masyarakat. Semua orang membutuhkan bahasa untuk berinteraksi dan berkomunikasi  dengan orang lain. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan gagasan atau pikiran- pikiran yang dimilikinya.  Begitu pula anak tunagrahita, mereka juga membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi atau untuk menyuarakan isi hatinya kepada orang lain. Namun, kapasitas kecerdasan anak tunagrahita yang berada di bawah rata- rata membuat mereka kesulitan untuk memperoleh bahasa dan mereka sering kali mengalami gangguan dalam berbahasa.
Kata kunci: bahasa, tunagrahita

A.    PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari- hari, manusia tidak dapat lepas dari proses interaksi. Baik interaksi antar individu, individu dengan kelompok, maupun interaksi antara kelompok dengan kelompok. Proses interaksi tersebut dapat terjadi apabila satu sama lain saling mengerti dan saling memahami makna serta maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu, diperlukan alat komunikasi yang disebut bahasa.Bahasa sangat penting untuk dikuasai oleh setiap orang. Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain serta dapat menangkap dan memahami simbol- simbol dari orang lain. Begitu pula dengan anak retardasi mental atau anak tunagrahita. Mereka memerlukan alat berkomunikasi untuk mengungkapkan keinginan dan pikirannya.
Namun pada kenyataannya sering dijumpai anak tunagrahita yang mempunyai gangguan dalam berkomunikasi. Menurut Tirman Pratasadia, 1982 (dalam Tarmansyah, 1995: 2)  anak tunagrahita  kurang mampu dalam penguasaan kata- kata, perbendaharaan bahasa, kesalahan dalam pengucapan, serta keterbatasan dalam konsep pemahaman. Dalam menggunakan kata- kata sering tidak ada kaitannya dengan obyek yang sedang dibicarakan. Berbagai masalah dalam hal berkomunikasi pada anak tunagrahita tersebut disebabkan oleh perhatian yang terbatas, gangguan persepsi, lingkungan yang kurang memberikan dorongan, dan gangguan emosi.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan membahas tentang gangguan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita. Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada para pembaca serta masyarakat luas tentang gangguan bahasa dan bicara yang dialami anak tunagrahita.


B.     PEMBAHASAN
1.      Definisi Bahasa dan Tunagrahita
Tunagrahita atau retardasi mental adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata- rata (Sunaryo Kartadinata, 1996: 83). Definisi tunagrahita menurut Tredgold (dalam Mumpuniarti, 2000: 27), tunagrahita ditinjau dari tingkat kemampuan individu yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkunagan normal dan membutuhkan perawatan, supervisi, kontrol, dan dukungan dari pihak luar dikategorikan perkembangan mentalnya tidak sempurna.
Defini yang dikemukakan American Association on Mental Retardation( AAMR) dalam Mumpuniarti ( 2000: 27) individu yang dianggap retardasi mental yaitu kecerdasannya di bawah rata- rata dan kekurangan dalam adaptasi tingkah laku yang terjadi selama masa perkembangan. Berdasarkan skor IQnya, American Association on Mental Defficiency (AAMD) mengklasifikasikan ketunagrahitaan ke dalam empat tingkatan, yaitu:
·         Tunagrahita ringan (mild mental retardation) dengan IQ 68- 52
·         Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) dengan IQ 51- 36
·         Tunagrahita berat (severe mental retardation) dengan IQ 35- 20
·         Tunagrahita parah ( profound mental retardation) dengan IQ 19 atau lebih rendah
Perilaku anak tunagrahita yang terkadang aneh, tidak lazim, dan tidak sesuai dengan situasi lingkungan seringkali  menjadi bahan tertawaan orang- orang yang berada di dekat mereka. Bahkan tak jarang mereka dianggap sebagai orang gila. Padahal, sesungguhnya mereka tidak gila, perilaku aneh dan tidak lazim tersebut merupakan manifestasi dari kesulitan mereka di dalam menilai situasi akibat dari rendahnya tingkat kecerdasan (Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin, 2005: 11).
Salah satu hal yang membuat anak tunagrahita berbeda dengan anak normal adalah bahasanya. Tingkat inteligensi anak tunagrahita yang berada di bawah rata- rata membuat mereka kesulitan dalam mengingat kata- kata, penguasaan kata, pengucapan dan konsep pemahaman. Sedangkan menurut Bambang S, 1988 (dalam Tarmansyah, 1995: 20) bahasa sendiri memiliki definisi sebagai pengungkap pemahaman, pengamatan, imajinasi atau daya khayal, daya kreasi, ingatan kepribadian dan gambaran dari sikap moral.
Menurut Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati, 2000 (dalam Edja Sadjaah, 2005: 115) bahasa sering dipandang dan merupakan media yang memungkinkan seseorang menyampaikan pikirannya kepada orang lain, mengidentifikasikan perasaannya yang paling dalam, membantu memecahkan masalah pribadi, dan menjelajah dunianya melampaui penglihatan serta masa kini.
Artinya, bahasa bagi seseorang selain sebagai media untuk dapat mengekspresikan keinginan hatinya yang dirasakan, dengan bahasa pula seseorang berimajinasi dan bercita- cita akan masa depannya.

2.      Gangguan Bahasa dan Bicara Pada Anak Tunagrahita
Di bawah ini merupakan perbedaan antara anak tunagrahita dengan anak normal dalam hal bahasa:
·         Anak tunagrahita ketinggalan dalam perkembangan bahasanya jika dibandingkan dengan anak normal, meskipun cara pemerolehannya sama.
·         Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
·         Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
·         Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas- tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep- konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana.
Sedangkan gangguan komunikasi yang sering dialami oleh anak tunagrahita antara lain:
a)      Gangguan ujaran
Gangguan ujaran adalah kesulitan dalam berbicara, tetapi tidak berarti anak lemah dalam pengetahuannya tentang bahasa. Gangguan ujaran pada umunya berupa masalah dalam artikulasi. Seperti substitusi yaitu satu bunyi diganti dengan bunyi lain dan omisi yaitu menghilangkan fonem, suku kata atau kata pada waktu mengucapkan kalimat ( “makan” diucapkan “kan”, “pergi” diucapkan “gi”). Sedangkan jenis gangguan lainnya antara lain gagap, suara parau atau berkelainan dalam volume dan warna suara.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mariyn, Sheehan, dan Slutz, 1969(dalam Sunaryo Kartadinata, 1996: 154) tentang bahasa anak tunagrahita antara lain:
·         Sekitar 20% dari populasi anak tunagrahita memiliki ujaran normal,  yang lainnya mengalami jenis gangguan ujaran tertentu.
·         Semakin rendah IQ, semakin tinggi insiden gangguan ujaran itu. Di kalangan tunagrahita ringan, hampir 60% berujaran normal, sedangkan kuran dari 2% tunagrahita parah (profound) yang berujaran  normal. Lebih dari sepertiga tunagrahita parah bahkan tidak memiliki ujaran sama sekali.
·         Gangguan ujaran yang paling umum di kalangan tunagrahita adalah gangguan artikulasi.
Alasan gangguan ujaran lebih banyak terjadi pada anak tunagrahita daripada anak normal adalah:
·         Gangguan ujaran pada umumnya lebih sering terjadi pada anak hingga usia empat atau lima tahun dan banyak di antara yang mengalami gangguan ini hingga usia 7 atau 8 tahun dan sembuh dengan sendirinya. Karena anak tunagrahita mempunyai umur mental yang lebih rendah, maka wajar apabila diasumsikan bahwa dalam banyak hal mereka akan berperilaku seperti anak normal dengan umur mental yang sama. Oleh karena itu, adanya gangguan ujaran merupakan salah satu ciri umur mental yang rendah.
·         Berbagai gangguan dan anomali organ bicara lebih sering terjadi di kalangan anak tunagrahita. Misalnya, sumbing pada langit- langit mulut lebih tinggi prevalensinya di kalangan anak tunagrahita daripada anak normal. Selain itu, salah satu yang membedakan anak Down’s Syndrome adalah bentuk lidah yang besar dibandingkan anak normal. Bentuk lidah yang besar tersebut dapat mengganggu artikulasi.

b)      Dislogia
Dislogia merupakan satu bentuk kelainan bicara yang disebabkan oleh tingkat inteligensi atau taraf kecerdasan di bawah normal. Rendahnya taraf kecerdasan menyebabkan anak mengalami kesulitan untuk menangkap rangsangan dari lingkungan ( Tarmansyah, 1995: 96). Kemampuan mental intelektual anak tunagrahita yang diperlukan dalam proses berpikir, mengingat, asosiasi, reproduksi, dan daya khayal tidak dapat berperan dengan sempurna. Pola kemampuan berpikir anak tunagrahita yang sederhana dan terbatas pada obyek yang konkrit mengakibatkan keterbatasan pembentukan konsep bahasa atau perbendaharaan pengertian. Hal ini menyebabkan adanya gangguan dalam komunikasi yaitu kesalahan pengucapan (disebabkan anak tidak mampu membedakan bunyi- bunyi yang hampir sama, misalnya “tadi” dengan “tapi”).
Selain itu, kemampuan anak tunagrahita dalam pembentukan kalimat masih sangat sederhana. Hal ini disebabkan oleh kurangnya konsep bahasa dan perbendaharaan pengertian yang dimilikinya. Sedangkan dalam kemampuan memproduksi suara, anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk menghasilkan nada yang bervariasi. Hal ini dapat terlihat apabila anak menyanyi, nadanya terdengar sumbang dan iramanya monoton dan juga anak kurang lancar dalam bicara terutama pada kata- kata yang mempunyai pengertian kompleks dan baru didengar.

c)      Gangguan Bahasa
Gangguan bahasa pada anak tunagrahita antara lain ketidakmampuan menggunakan atau memahami sintaksis yang kompleks, atau terbatasnya kosakata, atau ketidakmampuan menggunakan bahasa secara benar (Sunaryo Kartadinata, 1996: 54). Pada dasarnya anak tunagrahita memperoleh keterampilan bahasa melalui cara yang sama dengan anak normal, hanya saja kecepatan anak tunagrahita memperoleh keterampilan bahasa lebih rendah. Akibatnya, umur anak normal dengan anak tunagrahita sama namun keterampilan bahasa anak tunagrahita lebih rendah.
Pemerolehan bahasa pada anak tunagrahita biasanya berhenti pada masa pubertas, banyak individu tunagrahita sedang (moderate) sampai ke parah (profound) tidak lengkap dalam perkembangan keterampilan bahasanya. Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperolah bahasa adalah terkait dengan kaidah tata bahasa yang kompleks sehingga sulit dipahami oleh anak tunagrahita.


C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
·         Anak tunagrahita adalah individu atau anak yang mempunyai kapasitas kecerdasan di bawah rata- rata dan tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan normal sehingga  membutuhkan kontrol dan supervisi dari pihak luar.
·         Bahasa merupakan media untuk dapat menyampaikan pikiran seseorang atau keinginan hati dan dapat digunakan sebagai sarana untuk memecahkan masalah  serta menjelajah dunianya melampaui penglihatan serta masa kini.
·         Gangguan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita antara lain:
-          Gangguan ujaran
-          Dislogia
-          Gangguan bahasa

2.      Saran
·         Dalam memilih dan menyajikan materi pelajaran, guru seharusnya memperhatikan perkembangan kognitif anak tunagrahita.
·         Dalam memilih dan menyajikan meteri pelajaran, guru sebaiknya menggunakan kata- kata yang sederhana sehingga dapat dimengerti oleh anak tunagrahita.


DAFTAR PUSTAKA

Edja Sadjaah. 2005. Pendidikan Bagi Anak Gangguan Pendengaran Dalam Keluarga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Endang Rochyadi & Zaenal Alimin. 2005. Pengembangan Program Pembelajaran Individual Bagi Anak Tungrahita. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Mumpuniarti. 2000. Penanganan Anak Tunagrahita. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Sunaryo Kartadinata. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tarmansyah. 1995. Gangguan Komunikasi. Padang: Departemen Pendidikan Budaya.